Ringkasan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2020

 

                Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membuat catatan di setiap akhir tahun dengan sebutan Catahu (Catatan Tahunan). Catahu berisikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama setahun yang diadukan oleh masyarakat di Indonesia melalui lembaga masyarakat dan institusi pemerintah, baik pengaduan langsung melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email resmi Komnas Perempuan. Berdasarkan Catahu 2020 tersebut dihasilkan beberapa kesimpulan. Kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Data tersebut diperoleh dari beberapa sumber, yaitu perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR) yaitu suatu satuan yang dibentuk oleh Komnas Perempuan dengan tujuan menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan.

Jenis kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)/RP (ranah pribadi), disusul dengan kasus di ranah komunitas/publik, dan terakhir terjadi di ranah negara. Terdapat beberapa bentuk kekerasan pada ranah KDRT/RP, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi. Sebagian besar kasus kekerasan pada anak perempuan merupakan kekerasan seksual yang pelakunya adalah orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah angkat atau tiri, dan paman.

Sebagian besar kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah komunitas dan publik juga merupakan kekerasan seksual, diantaranya adalah pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan, dan percobaan pesetubuhan dan perkosaan. Pencabulan dan persetubuhan adalah istilah yang banyak dipakai Kepolisian dan Pengadilan sesuai dengan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku. Kasus kekerasan seksual menjadi kasus yang paling banyak terjadi, terutama pada hubungan pacaran yang latar belakang pendidikan terakhirnya hanya lulusan SMA. Dapat disimpulkan hal ini dapat terjadi karena minimnya pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (Pendidikan Seksualitas Komprehensif) dalam kebijakan pendidikan di Indonesia sehingga perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Juga pada Catahu tiga tahun terakhir disimpulkan bahwa anak berusia dibawah 18 tahun berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Serta pada tahun 2019 terdapat kenaikan angka dispensasi nikah yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama dengan persentasi sebanyak 85%. Namun ini hanyalah angka kasus yang dilaporkan, sedangkan yang tidak dilaporkan kemungkinan lebih tinggi. Kenaikan ini bisa dikarenakan adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review menaikkan usia pernikahan menjadi 19 tahun.

Sedangkan pada ranah (yang menjadi tanggung jawab) negara yang datanya diambil dari WCC dan LSM, terdapat kasus penggusuran, kasus intimidasi kepada jurnalis ketika melakukan liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang, kasus pelanggaran hak adminduk, kesulitan untuk akses hak kesehatan berkaitan dengan BPJS dan kasus pemukulan oleh oknum Satpol PP ketika terjadi penggusuran.

Pencatatan dan pendokumentasian data kekerasan oleh lembaga layanan milik pemerintah dan organisasi non pemerintah kurang merata, sehingga sebagian besar hanya terjadi di wilayah Jawa. Sedangkan di wilayah luar Jawa masih minim akan pencatatan dan pendokumentasian data kekerasan

Perempuan yang membela HAM rentan menjadi korban kriminalisasi, stigma komunis, liberal, murtad, dan makar/ekstrimis karena tidak adanya mekanisme perlindungan terhadap perempuan yang membela HAM. Hal ini mungkin juga menjadi penyebab meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) selama tiga tahun terakhir ini dengan bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video yang mengandung pornografi. Minimnya kemampuan lembaga layanan dalam menangani kasus KBGO menyebabkan Komnas Perempuan mengalami kesusahan dalam mencari lembaga yang menerima rujukan layanan KBGO. Dan perempuan yang menjadi korban dari KBGO rentan dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE dan UU Pornografi.

Comments